Indonesia dan ACFTA
Nama : Magdalena Amalia
Fakultas : Ekonomi/Akuntansi
NPM : 14340350012
UNIVERSITAS SATYAGAMA
PEREKONOMIAN INDONESIA
2016/2017
BAB 1 Pendahuluan
Latar Belakang
Globalisasi merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dibendung lagi kendala untuk melakukan mobilisasi baik dalam bentuk produk, jasa, buruh maupun modal. Trend globalisasi ini menghasilkan sebuah fenomena free trade yang lebih massive lagi. Dimana negara-negara semakin memiliki keleluasaan dalam menjalin kerjasama perdagangan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat negara lan terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Free Trade Area (ACFTA) guna menghadapi persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah satu bentuk kerjasama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang datas, permasalahan yang akan dibahas adalah :
Pengertian ACFTA
Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA
Absensinya strategi Indonesia terhadap ACFTA
Dampak ACFTA bagi perekonomian Indonesia
Tujuan
Mengetahui pengertian ACFTA
Mengetahui persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA
Mengetahui absensinya strategi Indonesia terhadap ACFTA
Mengetahui dampak ACFTA bagi perekonomian Indonesia
Bab 2 Pembahasan
Pengertian ACFTA
Pembentukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan China mengenai Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association os South East Asian Nations and the People’s Republic of China (“Framework Agreement”). Usulan pembentukan kawasan ini dicetuskan China pada bulan November 2000. Pada saat itu China memprediksi akan menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan UniEropa. Pada rentang waktu antara 2003 dan 2008, volume perdagangannya dengan ASEAN tumbuh dari US$59.6 milyar menjadi US$192.5 milyar. Cina juga diprediksi menjadi negara eksporter dunia terbesar pada tahun 2010 Perjanjian ini dintandatangani pada 5 November 2002 dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on Trade in Goods atau kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November 2004), Agreement on Trade in Service atau kesepakatan perdagangan di bidang jasa (14 Januari 2007), dan Agreement on Investment atau kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007. ACFTA adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara ASEAN dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan China. Namun tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu bersamaan. ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filiphina menyetujui pengahpusan per 1 Januari 2010, dan sedangkan CMLV (Camboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam) baru akan mengeleminasi dan menghapus tarif per 1 Januari 2015. Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA. Dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association os South East Asian Nations and the People’s Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.
Tujuan ACFTA ACFTA memiliki beberapa tujuan sebagai berikut :
Memperkuat dan meningkatkan kerjasaa ekonomi, perdagangan, dan investasi antar negara-negara anggota.
Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam/CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
Landasan Hukum
Perjanjian ACFTA ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES Nomor 48 Tahun 2004 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Peraturan-peraturan tersebut merupakan bagian dari hukum investasi, dimana Indonesia hendak memberikan respon bagi pemberlakuan ACFTA di kawasan.
Kesepakatan Indonesia dengan ACFTA
Pemerintah Indonesia dan China siap menjalin kerjasama terkait ASEAN-China Free Trade Agreement. Ada lima kesepakatan, di antaranya China mengizinkanpembukaan cabang Bank Mandiri dan pinjaman kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), serta membuka fasilitas kredit ekspor untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting/JMC) ke-10 di Yogyakarta, Sabtu 3 April 2010, Indonesia diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.Sedangkan China diwakili Menteri Perdagangan Chen Deming. JMC merupakan forum untuk membahas isu perdagangan investasi, kerjasama keuangan dan pembangunan. JCM ke-10 hari ini dilaksanakan dalam suasana persahabatan dan kerjasama sehingga menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Beberapa hasil kesepakatan tersebut antara lain:
Pihak China sepakat untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buah-buahan tropis (pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk dapat memasuki pasar China.
Kedua pihak sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan (Working Group on Trade Resolution/WGTR), yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan yang lancar di antara kedua negara; juga memfasilitasi pembukaan Cabang Bank Mandiri di RRC demi memperkuat hubungan transaksi langsung perbankan.
Atas permintaan Indonesia, dalam JCM ini delegasi RRC menyetujui pembukaan cabang Bank Mandiri di RRC, sehingga akan memperkuat hubungan langsung transaksi perbankan kedua negara.
Kerjasama antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan China Exim Bank(CEB) dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar US$ 100 juta dari CEB kepada LPEI. LPEI juga saat ini dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial & Commercial Bank of China (ICBC) untuk penyediaan kredit sebanyak US$ 250 juta kepada LPEI. Pinjaman tersebut akan digunakan oleh LPEI sebagai fasilitas kredit untuk mendukung perusahaan-perusahaan di kedua negara terkait dengan proyek-proyek perdagangan dan investasi dalam berbagai sektor-sektor prioritas yang disetujui oleh kedua belah pihak termasuk perdagangan daninvestasi barang modal, proyek-proyek sektorinfrastruktur, energi dan konstruksi.
Kedua pihak setuju untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor Preferensial (Preferential Export Buyers Credit) sebesar US$ 1,8 miliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah (Government Concessional Loan) sebesar 1,8 miliar RMB untuk dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek infrastruktur. Adapun proyek-proyek yang telah diselesaikan adalah proyek Jembatan Suramadu dan pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labuhan Angin. Sementara, pembangunan Waduk Jati Gede masih dalam proses. Terdapat pula 6 proyek baru yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu: pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit Baru (Kalimantan Barat) dan pengadaan material untuk jalur sepanjang 1.000 km and 200 unit turn out yang masih dalam proses pengadaan;serta konstruksi Jalan Tol antara Medan dan Kuala Namu (Sumatera Utara); Jembatan Tayan (Kalimantan Barat); Pengembangan Jalan Tol Tahap I: Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Jawa Barat); dan Jembatan Kendari (Sulawesi Tenggara).
Kedua belah pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerjasama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding and Deepening Bilateral Economic Cooperation) yang akan ditandatangani pada saat kunjungan Perdana Menteri Wen Jiabao ke Indonesia pada akhir bulan ini.
Membahas Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation) yang antara lain berisi :
Deklarasi Bersama antara Indonesia dan RRT mengenai Kemitraan Strategis yang telah ditandatangani oleh kedua Pimpinan Negara pada bulan April 2005 menjadi dasar untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan dan ekonomi antara kedua negara.
Berdasarkan Deklarasi ini, kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam mengatasi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ke tingkat yang baru untuk kepentingan kedua banga dan negara.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) tetap menjadi dasar strategis dimana masing-masing pihak harus penuh mengimplementasikan perjanjian tersebut secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan.
Agreed minutes ini merupakan upaya untukmenindaklanjuti concern beberapa industri di Indonesia terkait dengan dampak dari Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Kedua pihak percaya bahwa komitmen bersama antara kedua pemerintah, disertai dengan komitmen-komitmen dari kedua komunitas bisnis, akan dapat mengatasi kekhawatiran tersebut.
Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA
Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China? Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberi kontribusi positif memperkuat daya saing global.
Ekspor, Impor, dan Investasi
Adapun yang perlu diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah Indonesia dalammerenegosi-asikan kembali ACFTA dalam lingkup pos-pos tertentu yang dianggap belum siap menghadapi pelaksanaan ACFTA di Indonesia, maka pemerintah dalam pengertian paham monisme yang dianut pada UU No. 24 tahun 2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat mengarahkan kepada kesamaan kedudukan dan saling menguntungkan antarnegara peserta. Namun kendalanya adalah UU ini hanya berlaku di Indonesia, maka tugas pemerintah yang paling berat adalah meyakinkan negara sesama anggota ASEAN agar mendukung rencana yang diusung pemerintah Indonesia mengenai ketidak siapan beberapa post yang belum siap sepenuhnya menghadapi akibat dari pelaksanaan perdagangan bebas ACFTA di Indonesia
Selanjutnya, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membuat aturan yang jelas perihal persamaan kedudukan para negara peserta dalam perjanjian ACFTA ini, demi untuk menghindarkan dominasi negara terkuat khususnya mengenai penentuan harga-harga atas produk barang maupun jasa, (angan sampai Indonesia hanya menjadi Price Taker, sementara Negara Maju menjadi Price Maker.
Menyediakan dan membentuk aturan yang tegas terkait dengan ketentuan standar nasional dari beberapa negara peserta dan ketentuan anti dumping. Sehingga dengan adanya aturan main yang jelas tersebut, akan dapat ditentukan standar minimum yang harus dipenuhi untuk dapat menembus pangsa pasar yang disepakati dalam perjanjian ACFTA, disamping dengan adanya ketentuan yang jelas akan sanksi dan aturan anti dumping juga akan dapat menciptakan fair trade competition dan bukan unfair trade competion. Disinilah fungsi utama pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas regulasi, memproteksi ketahanan perekonomian nasional dari gempuran masuknya produk-produk asing ke dalam negeri.
Tahun 2009 yang penuh tantangan telah kita lewati. Kita patut bersyukur di bawah tekanan perekonomian global yang masih belum sepenuhnya pulih, perekonomian nasional masih mampu tumbuh.
Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia (Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini berperan menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA yang dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian, Deputi Menko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi Putra ini menyoroti kebijakan, potensi gangguan ekspor impor dan pemanfaatan peluang. Dengan adanya tim ini dapat dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa dipakai untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu ditangani demi memperkuat daya saing industri nasional di ajang kompetisi ACFTA.
Dari sisi fundamental, sejumlah indikator menunjukkan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini lebih meyakinkan. KADIN mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2009 sudah kembali naik menjadi 4,2 persen dari angka terendah 4,0 persen pada triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahun 2009 mencatat angka terendah sebesar 2,7 persen.Sementara itu, nilai tukar mulai stabil pada kisaran Rp 9.000-Rp 9.500 per dollar AS. Ekspor year on year sudah beberapa bulan terakhir meningkat kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah. Penjualan sepeda motor, mobil, dan semen menggeliat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus 2.600 pada minggu kedua Januari 2010 dan masih bertahan hingga akhir minggu lalu. Tercatat pada hari penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 2009, investor asing membeli lebih dari satu miliar saham (Rp 2,5 triliun) dan melakukan transaksi jual 700-an juta lembar saham (Rp 1,7 triliun) sehingga pada posisi pembelian bersih. Porsi asing tampaknya juga mendominasi. Modal asing meminati Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tercatat pada akhir 2009 investor asing membeli SBI Rp 44,1 triliun dan pada akhir minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 49,5 triliun. Sedangkan investor asing membeli SUN hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 106,3 triliun dan pada minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 109 triliun. Data di perbankan hingga November tahun lalu menunjukkan bahwa sejumlah Rp 1.398 triliun kredit tersalurkan dengan penekanan pada kredit sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 290 triliun, kredit manufaktur Rp 243 triliun, jasa dunia usaha Rp 146 triliun, dan sisanya untuk pertanian, pertambangan, peralatan, konstruksi, pengangkutan, dan telekomunikasi.Karena itu, International Institute for Management Development dalam publikasi tahunan terbarunya, World Competitiveness Yearbook (2009), menempatkan daya saing Indonesia diposisi ke-42 tahun 2009 dari urutan ke-51 tahun 2008. Memang harus diakui bahwa peningkatan kondisi Makro ini bukan disebabkan oleh pembenahan mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena negara-negara lain banyak yang terkapar akibat krisis global. Kendatipun demikian, momentum ini harus cepat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan terhadap unsur-unsur utama penentu daya saing. Jika kita abaikan lagi, negara-negara yang kini mengalami kesulitan ekonomi akan segera pulih dan berpotensi segera mengejar Indonesia.
ACFTA dan Hukum Investasi Indonesia
Kemampuan Indonesia dalam menciptakan kepastian hukum dan upaya penegakan hukum di bidang investasi menjadi jaminan apakah perkembangan investasi melalui ACFTA dapat menumbuhkan perekonomian Indonesia. Hukum investasi berperan penting, terutama dalam menciptakan kondisi yang tepat bagi penanaman investasi China di Indonesia.
Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi, membentuk peraturan perundangan yang berkaitan dengan ACFTA, yakni diantaranya :
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
Peraturan-peraturan tersebut merupakan bagian dari hukum investasi, dimana Indonesia hendak memberikan respon bagi pemberlakuan ACFTA di kawasan. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut berkaitan eratdengan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang berlaku bagi investor asing dan investor dalam negeri. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah peraturan-peraturan tersebut mampu memberikan kepastian hukum bagi perdagangan bebas antara China dengan Indonesia. Dan bagaimana dengan posisi tawar masyarakat ekonomi Indonesia dengan investasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh China mengingat potensi pasar Indonesia yang sangat menjanjikan.
Pemberlakuan ACFTA pada sisi yang lain menyebabkan munculnya pesimisme di bidang perekonomian. Indonesia sendiri merasa keberatan dengan pemberlakuan perdagangan bebas dengan China terutama dibidang tekstil, besi-baja, petrokimia, dan barang-barang elektronik. Dalam bidang-bidang tersebut, pembebasan tarif (bea masuk) pemerintah dituntut untuk melakukanpenundaan terlebih dahulu. Hal ini perlu dilakukan demi mencegah kerugian dan sekaligus memberikan perlindungan yang cukup bagi pelaku usaha di bidang tersebut. Selain itu penundaan diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan pelayanan yang lebih baik tentang produk-produk dalam negeri yang ditawarkan.Perkembangan ekspor dan impor antara kedua negara dalam kerangka perdagangan bebas ACFTA, menjadi titik tolak pengaturan hukum investasi. Hal ini dikarenakan investasi China diharapkan tidak merugikan kepentingan ekspor pengusaha (baik besar atau kecil) ke China karena produk dan komoditasnya kalah bersaing. Meskipun investasi dapat dilakukan pada sektor finansial dan sektor riil, akan tetapi yang dianggap menyentuh masyarakat ekonomi kebanyakan di Indonesia adalah sektor riil. Yang terjadi kemudian bahwa akses ekspor ke China dengan tarif rendah bagi produk-produk nasional adalah harapan bagi pengusaha-pengusaha dalam negeri, dan bahkan bagi mereka yang bergerak di UMKM. Meskipun aturan diperketat, pada masa yang lalu pun produk-produk China telah mendominasi pasar Indonesia. Baik secara legal, maupun ilegal, produk China telah menjadi salah satu pesaing utama bagi produk-produk buatan dalam negeri. Maka daya saing kemudian menjadi taruhan utama dalam menentukan kebijakan hukum investasi yang tepat. Kebijakan ini mengandung kepentingan untuk melindungi kepentingan investasi di Indonesia karena pemerintah harus memperhatikan beberapa hal, yakni :
biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan;
biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat maupun daerah;
masalah struktural yang dihadapi industri kita belum tuntas digarap secara serius, yaknilemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”; rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra; serta
Kementrian Perdagangan dan Perindustrian perlu menyelamatkan produk Indonesia yang lemah daya saingnya.
Indonesia diperhadapkan pada suatu problematika hukum investasi yang lain di mana batasan-batasan nasionalisme dengan investasi asing menjadi bias. Hukum investasi Indonesia harus dijadikan patokan, bagaimana perdagangan bebas dengan China tidak menggerus persoalan nasionalisme kebangsaan, sekaligus menjadi pijakan utama dalam pertumbuhan ekonomi. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang mengatur mengenai tata cara investasi di Indonesia, adalah payung hukum utama bagi investasi baik oleh investor asing maupun investor dalam negeri. Dengan demikian investor China diharuskan juga tunduk pada undang-undang tersebut. ACFTA sendiri tidak hanya menyebabkan integrasi perekonomian kawasan serta kerjasama untukmembangunnya, namun juga adanya tantangan bagi Indonesia, melalui kebijakan investasinya, dalam memperkuat perekonomian dalam negeri.
Daya Saing
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia (Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement yang berperan menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA. Namun, pada kenyataannya, pembentukan tim tersebut kurang cukup membantu dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan masih minimnya daya saing produk Indonesia yang menjadi tombak perekonomian. Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya adalah peran dari strategi perdagangan dan industri. Tanpa strategi industri dan perdagangan, suatu negara tidak mungkin membangun industri yang kompetitif dan produktif. Apabila dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi persaingan, sedikitnya ada 14 sektor usaha yang harus dirundingkan ulang (renegoisasi) untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun kedepan (Media Indonesia, edisi 19 Januari 2010). Maka dari itu, kalangan industri harus melakukan pembenahan karena persaingan terbuka tidak bisa dihindari.
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Jika ada kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing untuk komoditas pertanian, yang didukung dengan semangat cinta produk dalam negeri oleh masyarakat Indonesia, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi raksasa dalam bisnis produk pertanian di dunia, menggeser Thailand yang selama ini telah berhasil membangun branding sebagai produsen buah tropis berkelas dunia.
Absensinya Strategi Indonesia Terhadap ACFTA
Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang tepat dan efisien diperlukan guna memenangkan persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi dibandingkan dengan China. Hal ini dapat kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai berikut :
Sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga pada pengolahan timah, Chinatidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada saat krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importir yang dilakukanuntuk menjaga permintaan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing berbagai produk ekspor. Tanpa strategi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter akhirnya memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor keuangan daripada riil.
Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk produk elektronika dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah bahan baku.
Dampak ACFTA Bagi Perekonomian Indonesia
Berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara indonesia. Bagaimana tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian bangsa ini sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri jatuh bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya pasar bebas khususnya dengan RRC. Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru menegaskan upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan orientasi meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen Presiden Suharto (Penuturan 17 Menteri). Selain itu pembatasan berpolitik bagi warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah itu baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya Pemerintahan Suharto.
Dalam hal ini, terdapat dampak negatif dan positif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia.
Dampak Negatif :
Serbuan produk asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari China (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing aka nmendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkanbagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil China atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu China secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagiyang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?.
Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh China yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambahlebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
Dampak Positif
ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA.
Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan volume perdagangan. Hal ini di motivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi.
ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena dengan adanya AC-FTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk ke China dengan tarif yang lebih rendah pula ( pemaparan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI, Rabu (20/1).Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar China.
Meskipun China dan ASEAN telah berupaya meliberasikan perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade creation. China memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4%untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari China secara rata-rata hanya sebesar 2,3%.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi menyelamatkan industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan peningakatan daya saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk impor tidak menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang lebih besar untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta mengambil kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi indonesia.
BAB 3 Penutup
Kesimpulan
ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010. Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing. Dengan berlakunya perjanjian Indonesia dengan ACFTA, Indonesia harus mempersiapkan diri dengan mantap sehingga bisa bersaing dengan negara China atau dengan negara yang lainnya. Dalam sektor apapun yang menjadi batu loncatan dalam perjanjian ACFTA tersebut, seperti bidang ekspor impor barang dan juga investasi. Dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diikuti agar negara yang menjadi pencetus yaitu China tidak bisa menguasai sepenuhnya pasar Indonesia. ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara ini. Namun terlepas dari itu semua, Indonesia harus menganggap ACFTA sebagai ajang untuk bisa bersaing dengan negara lain bahkan bisa saja Indonesia menguasai pasar luar negeri.
Saran
Sebelum ACFTA diberlakukan, pemerintah Indonesia seharusnya melakukan survei opini publik untuk mengetahui persepsi masyarakatmengenai ACFTA. Karena dengan survei, pemerintah dapat mengetahui kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan dari situ pemerintah Indonesia dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi ACFTA.
Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal untuk berbagai sektor infrastruktur.
Pemerintah juga harus meningkatkan penjagaan akan terjadinya penyulundupan karena hal itu sangat merugikan para pengusaha.
Perlu adanya pelatihan kewirausaan untuk menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa menciptakan pengusaha baru.
Walaupun ACFTA banyak membawa pengaruh negatif terhadap industri-industri dalam negeri akan tetapi Indonesia masih bisamendapatkan peluang yaitu dengan meningkatkan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri, Indonesia harus jeli melihat peluang yanga ada agar dapat mengambil keuntungan yang mampu menopang perekonomian indonesia. Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam bidang perdagangan luar negeri adalah bagaimana meningkatkan daya saing terhadap ekonomi negara-negara kawasan yang makin meningkat pertumbuhan dan produktifitasnya.
Daftar Pustaka
http://catatanpenailahi.blogspot.in/2014/10/makalah-tentang-acfta-asean-china-free.html
http://maratussholihah96.blogspot.in/2015/05/perdagangan-internasional-afta-acfta.html
http://pkndisma.blogspot.in/2013/03/acfta-kawasan-perdagangan-asean-cina.html
http://galleryomih20.blogspot.in/2010/04/tugas-makalah-tentang-acfta.html
https://setyopamungkas.wordpress.com/2010/03/08/impilkasi-asean-%E2%80%93-china-free-trade-area-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C4573373568
Tidak ada komentar:
Posting Komentar